Jumat, 30 Mei 2008

GOYANG OBAMA

Hampir semua berita koran tertanggal 27 Februari 2008 memberitakan foto Obama memakai sorban putih di kepala dan balutan sarung putih di tubuhnya, foto tradisional ala kenya ini tentu saja bikin heboh jagad politik Amerika mengingat semakin dekatnya pertarungan krusial di dua negara bagian yang berpengaruh besar terhadap capaian delegasi antara Obama dan Hillary yaitu Texas dan Ohio. Di dua negara bagian ini keduanya harus bertarung habis-habisan untuk meneguhkan kemenangan, Texas menyediakan 193 delegasi dan Ohio 141 delegasi. Sementara perolehan Obama unggul 1.351 delegasi sedang Hillary dibawahnya dengan selisih 89 delegasi. Untuk mengamankan kemenangan salah seorang diantara mereka harus meraih setidaknya 2.025 dari 4.049 delegasi Partai Demokrat pada konvensi 25-28 Agustus mendatang.
Melihat peta kekuatan masing-masing pihak, tentu satu sama lain harus beradu strategi. Selisih kemenangan tipis dipihak Obama mengundang perang urat syaraf lebih dasyat dipihak Hillary, menurut beberapa poling Obama lebih diunggulkan baik sebelum munculnya foto itu maupun setelah beredar luas, kita lihat misalnya polling yang diadakan oleh lembaga kajian ilmiah Decition Analyst (DA) sebelum peredaran foto obama memakai sorban, Obama unggul di Texas dengan 57 persen sedangkan hillary hanya 43 persen dan poling terbaru oleh CBS News dan New York Times Obama memenangkan 16 poin diatas Hillary di Ohio dan bahkan diseluruh negara bagian Obama meraih 54 persen dan Hillary hanya 38 persen suara. Meski demikian segalanya bisa berubah mengingat 4 maret masih 4 hari lagi, isu Obama adalah seorang muslim bisa saja mengubah persepsi masyarakat amerika tentang berbagai kekhawatiran yang ada dibenak mereka tentang sosok Obama.
Tulisan ini tidak berpretensi melihat faktor kalah atau menangnya kandidat, tetapi lebih mengarah ke sosok Obama yang terlahir dari keluarga yang ‘biasa-biasa saja’, dibesarkan dengan cara jauh dari kata mewah dan kini sosok itu menjadi ikon harapan bukan hanya oleh masyarakat Amerika tetapi juga seantero dunia. Kehadiran Obama dalam konstelasi pemilihan presiden Amerika setidaknya menjadi angin segar bagi setiap insan yang percaya bahwa demokrasi bukan hanya milik ‘the have’ tetapi bisa menjadi jalan bagi siapapun yang punya ide brilian untuk mengusung perubahan yang konstruktif, sosoknya sebagai orang kulit hitam dan simbol minoritas tanpa diduga sekarang menjadi politisi hebat yang tutur bahasanya selalu filosofis.
Wajah Baru Amerika
Jika boleh berandai-andai Obama memenangkan pemilu dan menjadi presiden Amerika menggantikan George W Bush setidaknya ada dua hal yang akan berubah dari negara yang bertahun-tahun menjadi polisi dunia dengan ribuan ungkapan antagonis dari setiap telinga penduduk bumi yang mendengar kata-kata Amerika. Pertama, persepsi masyarakat dunia tentang Amerika sebagai negara yang dikuasai oleh dinasti politik akan runtuh ketika Obama naik menjadi presiden berbeda jauh ketika yang jadi adalah Hillary maka Amerika akan dipimpin oleh dua keluarga dalam dua dekade yaitu Bush, Clinton, Bush, Clinton, bertahun-tahun kursi presiden Amerika hampir tak meninggalkan jejak dari penguasaan dinasti politik yang menguasai gedung putih. Dengan munculnya Obama dipanggung presiden, akan muncul demokrasi dengan wajah baru yaitu wajah santun dan ramah dari seorang biasa yang tidak biasa, latar belakang Obama yang tidak ningrat berbeda dengan Bush, Mc Cain, Huckabee dan Hillary yang dibesarkan oleh keluarga yang sudah mapan politik. Ciri khas kesederhanaan inilah yang sekaligus menjadi kekuatan bagi Obama untuk dapat diterima oleh kalangan berlatar belakang apapun. Kedua, ideologi anti perang yang diusung Obama semakin memantapkan langkah maju Amerika untuk menjadi poros kemanusiaan, berbeda dengan kandidat-kandidat lain seperti Mc Cain, Huckabee, dan Hillary yang mempertahanankan aksi pendudukan di Irak, Obama justru mengumandankan ideologi anti perang dan apapun yang berbau kekerasan. Tentu langkah ini sebangun dengan cita-cita masyarakat Amerika (majority) dan penduduk dunia untuk mempertahanankan perdamaian abadi. Banyak hal yang akan terkikis dengan sendirinya dari apa yang dikategorikan sebagai fundamentalisme, radikalisme dan terorisme jika kesejahteraan sosial menjadi tolok ukur kemandirian suatu bangsa dan dapat mengalir ke penjuru dunia dari negara adidaya (superpower) dalam konteks pendekatan militer menjadi negara yang sungguh-sungguh memperjuangkan pengentasan kemiskinan sedunia. Saya teringat suatu ketika saya pernah bertanya pada senator amerika Jims Dormurt dan dibenarkan oleh Louis Cape kalau selama ini APBN amerika setengahnya adalah untuk pertahanan dan setengah dari anggaran pertahanan itu untuk perang, maka jalan baru yang diretas Obama tentu sangat besar artinya bagi era kebangkitan kaum proletarian melalui aspek pemberdayaan.
Harapan Semu?
Melihat peta persaingan kandidat di Partai Demokrat, bukan tidak mungkin Obama dapat lolos menjadi kandidat yang diusung melawan kubu Republik, tetapi tentu jalan tidak hanya panjang dan melelahkan tetapi sekaligus terjal. Salah strategi bisa berujung masuk jurang kekalahan. Masih segar dalam ingatan kita ketika dalam pemilu presiden tahun 2004 Bush junior unggul tipis dari pesaingnya dari Demokrat John Kerry, dalam beberapa hal pemilu 2008 memang berbeda dari sebelumnya, gegap gempita media seolah menyuguhkan kursi presiden hanya perebutan dari Obama dan Hillary mengingat merosotnya popularitas dan kekalahan Republik dalam pemilu dewan, tetapi segalanya bisa terjadi dalam peta kompetisi ini, dan selanjutnya masyarakat Amerika akan menentukan sebuah harapan yang ditunggu-tunggu apakah akan kandas persis seperti Kerry pada waktu itu atau justru harapan itu menjadi nyata dengan munculnya ‘the black horse’ yang dalam pidatonya di wisconsin menyebutkan: “bahwa sebuah perubahan itu tidak bisa hanya kita percayakan pada orang-orang yang dianggap luar biasa, karena terbukti Amerika Serikat hari ini menjadi sebuah negeri yang paling dibenci akibat kebijakan-kebijakan buruknya, tetapi perubahan dapat dilakukan oleh orang-orang biasa, bahkan seperti saya sekalipun”. Slogan Change We Can Believe In bahkan telah menjadi sihir dasyat bagi upaya seorang yang dalam hidupnya ‘terjebak’ dalam multikulturalisme dan kemudian mampu keluar dari sekat-sekat sosial, budaya, dan politik melalui perjuangan panjang sebagai manusia biasa yang mendobrak kemapanan politik di negeri yang sudah ‘mapan’ sistem politiknya, Orang biasa yang tidak biasa bukan?.

Tidak ada komentar: