Jumat, 30 Mei 2008

PEMAKZULAN MUHAIMIN ISKANDAR; JALAN TERJAL PKB

Lukman Choz*


Suhu politik menjelang 2009 semakin panas, ditengah upaya konsolidasi partai-partai peserta pemilu untuk memperkuat basis dan memperlebar sayap konstituen. Partai Kebangkitan Bangsa justru membuat geger jagad ‘persilatan’ tanah air. Kontroversi pemakzulan Ketua Dewan Tanfidz Muhaimin Iskandar melalui mekanisme rapat gabungan dewan tanfidz dan dewan syuro menjadi ‘political hot isue’ yang paling banyak dibicarakan dari tingkat masyarakat desa di kampung-kampung sampai politisi-politisi kelas wahid apalagi didukung media massa nasional. Tentu pelbagai pertanyaan menjadi domain penting terutama tentang sah atau tidakkah proses hukum yang berlaku, begitu berbahayakah gerakan yang dilakukan Muhaimin Iskandar sampai peserta sidang merasa perlu untuk mendepak sang keponakan, atau apa sesungguhnya yang terjadi dibalik benang kusut kompetisi internal PKB.
Batal Demi Hukum
Pemecatan Muhaimin Iskandar dari kursi ketua umum dewan tanfidz DPP PKB memunculkan dua tafsir kepentingan, pertama bahwa dengan voting yang menghasilkan suara terbanyak (20) dari 30 peserta yang hadir dalam sidang sudah resmi melengserkan Muhaimin dari kursi ketua umum, kedua, bahwa keputusan mayoritas yang diambil dalam rapat gabungan dewan tanfidz dan dewan syuro itu ‘hanya’ meminta Muhaimin untuk mundur dari kursi ketua umum. Dua tafsir ini tentu memunculkan status hukum yang berbeda, yang pertama secara ekstrem membuat posisi ketua umum dewan tanfidz menjadi kosong dan secara otomatis Muhaimin hanya berkedudukan sebagai anggota, sedang yang kedua Muhaimin masih mempunyai hak untuk menjalankan roda organisasi sampai batas digelarnya Muktamar atau Muktamar Luar Biasa.
Dalam ART PKB pasal 22, ada klausul lowongan antar waktu personalia DPP bisa terjadi karena tiga hal, meninggal dunia, mengundurkan diri, dan diberhentikan. Tulisan ini secara fokus hanya membahas klausul mengundurkan diri yang menjadi topik utama pembicaraan. Kata mengundurkan diri seharusnya menjelaskan keputusan individu untuk menanggalkan jabatannya tanpa paksaan. Betul memang bahwa rapat gabungan dewan syuro dan tanfidz tidak secara lugas memaksa muhaimin, tetapi adanya opsi untuk memintanya mundur secara politis maupun psycologis membuat posisinya ‘gawat darurat’. Nah, disini obyektifitas AD/ART menjadi ‘ternodai’ karena kepentingan politik praktis. Dengan demikian keputusan sidang dan hasil-hasilnya yang memunculkan opsi meminta Muhaimin mundur menjadi batal demi hukum karena secara tidak sadar telah ‘merusak’ makna mengundurkan diri.
Pemakzulan ini tentu menjadi cacat hukum, bukan karena kuorum atau tidaknya peserta yang hadir tetapi opsi yang dimunculkan dan kemudian disepakati itulah yang sesungguhnya ‘tidak berlaku’ dalam mekanisme pengambilan keputusan untuk melengserkan jabatan ketua umum.
Politik Jalan Tengah
Tidak mudah memang untuk mempertemukan cara pandang di lingkungan partai berbasis masyarakat santri ini, politisi-politisi yang lahir di PKB bukan hanya mengerti aspek-aspek hukum melainkan lebih dalam merupakan jago-jago debat dalam arti yang sesungguhnya. Kalau dasar hukum yang dipakai oleh kalangan nasionalis jelas menggunakan hukum positif sebagai basis, PKB lebih unik karena rata-rata pengurusnya adalah orang-orang yang lihai menggunakan kaidah dasar hukum islam (ushul fiqh) sebagai istinbat (pengambilan keputusan) hukum. Tetapi tentu bukan itu yang membuat titik temu sulit didapat, melainkan peta konflik yang jauh lebih rumit dari AD/ART. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kompetisi Muhaimin dan Yeni untuk berprestasi di PKB memunculkan friksi di internal partai. Sebagai konsekuensinya Gus Dur yang menjadi tokoh sentral simbol pemersatu partai menjadi rebutan meski pada saat yang lain sekaligus menjadi pemecah belah faksinya sendiri.
Disinilah soliditas PKB diuji, apakah menggunakan akal sehat dengan cara tabayun sebagaimana tradisinya selama ini atau meninggalkan cara itu dengan melanjutkan kontroversi yang sulit dimengerti dengan nalar. Meski, juga tidak sepenuhnya salah plesetan salah seorang teman yang angkat bicara bahwa AD/ART PKB hanya berisi tiga pasal, pertama AD/ART PKB adalah Gus Dur, Pasal kedua, apa yang diucapkan Gus Dur adalah benar, Pasal Ketiga, jika Gus Dur salah lihat pasal dua.
Sistem politik patron-client yang ditumbuh suburkan di PKB jelas membawa ‘angin’ bagi setiap kebijakan yang diambil, posisi Gus Dur sebagai figur tunggal punya pengaruh besar bagi setiap sikap dan kebijakan partai, terkadang ini melahirkan otoritas tunggal yang pada waktu tertentu isu bisa menjadi fakta hukum karena distorsi dan pembelokan peristiwa.
Apapun bentuknya konflik tentu melahirkan perpecahan, sementara pemilu 2009 sudah didepan mata, jika saja ideologi kebangsaan, keislaman, dan kemanusiaan PKB masih dijunjung tinggi sebagai sebuah tujuan maka jalan tengah untuk menyelesaikan masalah ini tentu masih terbuka lebar, jalan semakin terjal yang pasti bukan kerikil tajam yang ditunggu masyarakat bukan?.






* Pemerhati masalah sosial po

Tidak ada komentar: