Senin, 02 Juni 2008

PILKADA DKI: DARI CALON INDEPENDEN KE DEPARPOLISASI

Ditengah maraknya pembahasan tentang RUU Paket Politik yang meliputi RUU Pemilu Legislatif, RUU Pemilu Presiden, RUU Susduk, dan RUU Partai Politik di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dan makin ‘panas’nya nuansa kampanye calon gubernur DKI yang diramaikan oleh dua kandidat an sich. Serta semakin kencangnya arus wacana pembaruan sistem Demokrasi di Indonesia. Angin segar berhembus dari Mahkamah Konstitusi (MK) tentang diperbolehkannya calon perseorangan/independent maju sebagai calon kepala daerah melalui judicial review utamanya pasal 59 ayat 3 Undang-Undang (UU) Nomor 32/2004.
Menata sistem politik dan tata negara memang bukan perkara yang mudah. Setelah beranjak lebih dari delapan tahun kejatuhan orde baru, reformasi masih menyisahkan problematika ketatanegaraan yang kompleks. perangkat dan pilar-pilar demokrasipun menjadi bagian paling fundamental dalam menata arah dan laju kebangkitan era baru bagi terciptanya sistem politik yang efektif, supremasi hukum yang berwibawa, dengan tetap menjunjung tinggi budaya nusantara dan tidak mengabaikan arus kebebasan yang sedang menggejala di seluruh dunia.
Sebagai bagian dari pilar demokrasi, partai politik mempunyai posisi yang strategis dalam proses pembangunan bangsa menuju ruang yang sarat dengan partisipasi publik. Meski demikian, dinamika partai politik senantiasa naik turun. Terutama jika dihadapkan pada persepsi masyarakat. Jajak pendapat yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyebutkan bahwa sebanyak 87% warga DKI menginginkan calon independen. Secara tidak langsung ini mengisyaratkan bahwa akhir-akhir ini masyarakat mulai kehilangan kepercayaan terhadap partai politik.

Pilkada DKI dan Hakikat Demokrasi
Pemilihan kepala daerah di DKI Jakarta akan dilaksanakan pada 8 Agustus 2007, meski demikian sejatinya pertarungan itu sudah dimulai sejak lama. Menariknya dari sekian banyak partai politik hanya ada dua kandidat. Adang Daradjatun-Dani Anwar didukung oleh Partai Keadilan Sejahtera dan Fauzi Bowo-Prijanto disokong 20 Partai Politik yang tergabung dalam Koalisi Jakarta. Jumlah penduduk Jakarta yang melebihi angka lima juta jiwa harus menelan pil pahit dengan suguhan hanya dua kandidat saja. Lantas kemana arah gerbong demokratisasi di Jakarta berjalan. Disadari atau tidak, pilkada DKI telah dan akan menimbulkan masalah dikemudian hari. Masalah itu bisa berbentuk penolakan hasil pilkada, mencuatnya kembali tidak diakomodirnya para calon independent, dan instabilitas pemerintahan.
Pasca penentuan pemenang pilkada nanti, dapat dibayangkan betapa arus kekecewaan massa yang kalah baik pendukung pasangan Adang Daradjatun maupun Fauzi Bowo bisa berujung ‘sengketa’ berkepanjangan. Baik sengketa hukum, politik, dan -semoga tidak- sengketa fisik. Karena kalau mau jujur, potensi tersebut sebenarnya sudah ada semenjak ‘perang’ spanduk menjadi alat kampanye yang selain tidak efektif juga menyesatkan. Terbukti spanduk hanya menjadi alat sosialisasi figur dalam bentuk foto dan hampir tidak ada yang mengusung visi, misi, dan atau solusi real atas berbagai problematika Jakarta. Dan bahkan akhir-akhir ini mulai banyak ditemui spanduk ‘panas’ yang mengedepankan black campaign dan character assasinasion ketimbang mendidik warga dengan mengajukan program real pasca terpilih sebagai gubernur. Pendidikan politik baru ditemui mulai senin malam (30 Juli) dengan program menguji sang kandidat yang disiarkan secara langsung oleh metroTV atas inisiasi dari Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR).
Disinilah ujian bagi warga Jakarta untuk mengedepankan aspek rasionalitas dalam berdemokrasi. Memilih pemimpin bukan perkara mudah, jika salah menentukan pilihan taruhannya lima tahun kedepan warga DKI akan kehilangan fungsinya sebagai subjek pembangunan. Menurut David Held (Models of Democracy: 1987) orang seharusnya bebas dan setara dalam menentukan kondisi kehidupannya yaitu dalam hal mendapatkan hak (dan karena itu kewajiban yang sama) dalam suatu kerangka pikir yang menghasilkan dan membatasi peluang yang tersedia untuk mereka. Artinya bahwa kebebasan seseorang selain hak dasar untuk dapat memilih juga pada saat yang sama setiap warga Negara berhak untuk mendapatkan hak untuk dipilih sebagai pemimpin. Kerangka ini mengharuskan Negara melindungi hak dasar warga Negara sebagai subjek pembangunan. MK telah melaksanakan fungsi ini dengan membolehkan calon perorangan maju sebagai kandidat. Demokrasi tidak tumbuh dari hal yang sifatnya simbolik melainkan cukup jauh masuk dalam area substantif yang mengedepankan partisipasi publik, efektifitas pemerintahan, keadilan, kemakmuran, dan kebebasan yang bertanggung jawab.

Momentum Konsolidasi Partai Politik
Mac Iver dalam karyanya The Modern State menulis bahwa Negara mempunyai fungsi perlindungan (protection), yang berarti bahwa Negara mempunyai kewajiban untuk melindungi rakyat yang lemah dari yang kuat. Keadaan ketika partai politik tidak linier dengan fungsinya sebagai lembaga satu-satunya yang berhak untuk mengusung calon kepala daerah memungkinkan terjadinya kasus ‘transaksi beli tiket’ dan tentu ongkos yang harus dibayar oleh calon kandidat tidaklah murah. Bersatunya 20 parpol juga indikasi tidak sehatnya sistem kompetisi pilkada. mandegnya kaderisasi juga menjadi hal yang harus dibenahi partai politik. Kandidat yang bersaing di Pilkada DKI, terbukti calon Gubernurnya bukan dari partai politik. Bahkan PKS sebagai partai pemenang pemilu di DKI hanya menjagokan kadernya sebagai calon wakil gubernur.
Jika demikian adanya, partai politik dituntut untuk menguatkan peran dan fungsinya sebagai lembaga demokrasi yang kuat, mendapat kepercayaan publik yang tinggi, menjadi rumah aspirasi bagi masyarakat, menjalankan fungsi kaderisasi kepemimpinan bangsa, dan mampu menjawab tantangan zaman bahwa partai politik bukan calo bagi kandidat yang mau menggunakan haknya untuk dipilih sebagai pemimpin. Jika tidak, bukan tidak mungkin legitimasi partai politik sebagai pilar demokrasi teralienasi oleh menguatnya kepercayaan masyarakat pada calon independent.
Fungsi partai politik yang oleh Miriam Budiarjo dikategorikan dalam empat hal yaitu sebagai sarana komunikasi politik, sarana rekrutmen politik, sarana sosialisasi politik, dan sebagai pemberes konflik dengan demikian harus diupayakan sekuat pikiran dan tenaga sebagai bentuk upaya serius memperbaiki diri.
implikasi dari fungsi ini adalah kembali meneguhkan posisi partai politik sebagai pilar demokrasi dengan jalan konsolidasi kesadaran. Bukan dengan arogansi kekuatan yang hanya mengedepankan kekuasaan an sich. Kemajuan partai politik di masa depan akan terukur dengan seberapa besar pengabdiannya pada rakyat dan tentu saja parameternya adalah kepercayaan publik.
Reward and Punishment
Untuk menjawab berbagai problematika itu tentu obyektifnya kudu ada sistem yang seimbang. Mewacanakan deparpolisasi barangkali akan menjadi bola liar yang bisa menjadi senjata ampuh merusak tatanan yang sudah mapan. Tetapi membiarkan terjadinya kerancuan sistem yang berujung pada terpasungnya hakikat demokrasi hanya semakin mengukuhkan bahwa sesungguhnya demokrasi hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan an sich. Jalan tengahnya tentu harus ada penghargaan (reward) and hukuman (punishment) bagi partai politik. Penghargaan bagi partai politik yang berhasil menjalankan fungsi eksistensinya dan memberikan sanksi radikal bagi partai politik yang gagal menjalankan amanat sebagai sarana rakyat untuk melangsungkan komunikasi, kaderisasi, ideologisasi, dan terutama sebagai penyelesai konflik. Bentuknya bisa beragam mulai dari tidak lagi memilih partai yang gagal dan secara rasional memilih partai yang berpihak pada rakyat kecil, kaum mustadz’afin, dan kalangan proletarian. sampai pada bentuk yang paling ekstrem menggunakan hak politik rakyat dengan cara mem’borgol’ legitimasi partai politik melalui suara golput. Dengan cara ini akan teruji secara sistemik, maukah partai politik mereformasi dirinya. Detik demi detik kita tunggu jawabannya.



*Direktur Program Banyu Putih Foundation

Tidak ada komentar: